Rabu, 28 Desember 2016

Puisi Buya HAMKA

 

Nikmat Hidup

Setelah diri bertambah besar
di tempat kecil tak muat lagi,
Setelah harga bertambah tinggi
orang pun segan datang menawar,
Rumit beredar di tempat kecil
kerap bertemu kawan yang culas,
Laksana ombak di dalam gelas
diri merasai bagai terpencil,

Walaupun musnah harta dan benda
harga diri janganlah jatuh,
Binaan pertama walaupun runtuh
kerja yang baru mulailah pula,

Pahlawan budi tak pernah nganggur
khidmat hidup sambung bersambung,
Kadang turun kadang membumbung
sampai istirahat di liang kubur,

Tahan haus tahanlah lapar
bertemu sulit hendaklah tenang,
Memohon-mohon jadikan pantang
dari mengemis biar terkapar,

Hanya dua tempat bertanya
pertama tuhan kedua hati,
Dari mulai hidup sampai pun mati
timbangan insan tidaklah sama,

Hanya sekali singgah ke alam
sesudah mati tak balik lagi,
Baru rang tahu siapa diri
setelah tidur di kubur kelam,

Wahai diriku teruslah maju
di tengah jalan janganlah berhenti,
Sebelum ajal, janganlah mati
keridhaan Allah, itulah tuju,

Selama nampak tubuh jasmani
gelanggang malaikat bersama setan,
Ada pujian ada celaan
lulus ujian siapa berani,

Jika hartamu sudah tak ada
belumlah engkau bernama rugi,
Jika berani tak ada lagi
separuh kekayaan porak poranda,

Musnah segala apa yang ada
jikalau jatuh martabat diri,
Wajah pun muram hilanglah seri
ratapan batin dosa namanya,

Jikalau dasar budimu culas
tidaklah berubah kerana pangkat,
Bertambah tinggi jenjang di tingkat
perangai asal bertambah jelas,

Tatkala engkau menjadi palu
beranilah memukul habis-habisan,
Tiba giliran jadi landasan
tahanlah pukulan biar bertalu,

Ada nasihat saya terima
menyatakan fikiran baik berhenti,
sebablah banyak orang membenci
supaya engkau aman sentosa,

Menahan fikiran aku tak mungkin
menumpul kalam aku tak kuasa,
Merdeka berfikir gagah perkasa
berani menyebut yang aku yakin,

Celalah saya makilah saya
akan ku sambut bertahan hati,
Ada yang suka ada yang benci
hiasan hidup di alam maya

Biografi Singkat Tan Malak pengarang Buku 'MADILOG'


Nama Lengkap : Tan Malaka
Profesi : Pahlawan Nasional
Agama : Islam
Tempat Lahir : Suliki,Sumatra Barat
Tanggal Lahir : Rabu, 2 Juni 1897
Zodiac : Gemini
Warga Negara : Indonesia


BIOGRAFI
Tan Malaka adalah sosok laki laki kelahiran Suliki, Sumatra Barat pada tanggal 02 Juni 1897 dengan nama asli Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Anak dari pasangan Rasad Chaniago dan Sinah Sinabur ini merupakan tamatan Kweekschool Bukit Tinggi pada umur 16 tahun di tahun 1913, dan dilanjutkan ke Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda. Setelah lulus dari Rijks Kweekschool, Tan Malaka kembali ke Indonesia dan mengajar di sebuah perkebunan di Deli, dari sinilah Tan Malaka menemukan ketimpangan sosial di lingkungan sekitar dan muncullah sifat radikal Tan Malaka.

Tan Malaka merupakan sosok yang memiliki sifat sosialis dan politis. Pada tahun 1921 dia pergi ke Semarang untuk mulai menerjuni dunia politik. Kiprahnya dalam dunia politik sangat mengesankan. Hal ini didukung dengan pemikiran Tan Malaka yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Berbagai halangan dan rintangan yang dihadapi Tan Malaka dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mulai dari penangkapan dan pembuangan di Kupang, pengusiran dari negara Indonesia, seringnya konflik dengan Partai Komunis Indonesia hingga pernah diduga kuat sebagai dalang dibalik penculikan Sutan Sjahrir pada bulan Juni 1946. Berbagai peran pentingpun diraih Tan Malaka, diantaranya kepemimpinan dalam berbagai organisasi dan partai. Sempat mendirikan partai PARI pada tahun 1927 dan Partai Murba pada tahun 1948, hingga mendirikan sekolah serta mengajar di China pada tahun 1936 dan sekolah tinggi Singapura. Ada hal yang sangat penting dalam kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,dimana peranan Tan Malaka dalam mendorong para pemuda yang bekerja di bawah tanah masa pendudukan Jepang agar mencetuskan "Revolusi" yang tepatnya pada tanggal 17 Agustus.

Tan Malaka terbunuh di Kediri Jawa Timur pada tanggal 19 Februari 1949. Sebagian besar hidupnya dalam pengusiran dan pembuangan di luar Indonesia. Pemerintah Indonesia menyatakan Tan Malaka sebagai pahlawan Nasional melalui Ketetapan Presiden RI nO 53 tanggal 23 Maret 1963.

 
PENDIDIKAN
  • Kweekschool Bukit Tinggi (1913)
  • Rijks Kweekschool, Haarlem Belanda
 
 
PENGHARGAAN
Pahlawan Nasional melalui Ketetapan Presiden RI No. 53 tanggal 23 Maret 1963

Negeri di Atas Awan Ada di Flores, NTT

 
Wae Rebo memang indah dan menakjubkan, diselimuti oleh kabut tipis di seluruh perkampungan membuat Wae Rebo pantas mendapatkan julukan ‘kampung diatas awan’. Secara geografis kampung ini terletak diatas ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (m dpl). Wae Rebo merupakan bagian dari Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai Barat, Flores.
Disini wisatawan mendapat kesempatan untuk melihat dan tinggal di Mbaru Niang, sebuah rumah tradisional Flores yang masih tersisa dan hanya ada di kampung Wae Rebo. Pada tahun 2012 silam, Mbaru Niang mendapatkan penghargaan dari UNESCO. Pemandangan alam perbukitan dan hutan hijau yang masih asri, dengan diselimuti kabut yang kadang tersibak oleh hembusan angin sehingga memperlihatkan tujuh buah Mbaru Niang yang berdiri dengan anggunnya, merupakan sebuah pemandangan bak di negeri khayalan.
Menginjak Kampung di Atas Awan
Wae Rebo yang berpenghuni 112 Kepala Keluarga atau sekitar 625 jiwa penduduk (data 2012) ini semakin mencuri perhatian wisatawan, terutama wisatawan dari mancanegara. Tidak bisa dipungkiri bahwa selain faktor biaya yang relatif mahal untuk sampai ke tempat ini, perjalanannya sendiri pun memberikan pengalaman berpetualang dan tantangan tersendiri. Dari data yang diperoleh pada tahun 2011, total ada 313 turis dari 19 negara yang datang berkunjung ke kampung ini.
Awalnya adalah Yori Antar, seorang arsitek asal Jakarta yang penasaran dengan Mbaru Niang dari sebuah kartu pos. Hingga pada 2008, Yori Antar berhasil ‘menemukan’ kampung Wae Rebo hanya berbekal kartu pos bergambar Mbaru Niang. Melalui laporannya, banyak wisatawan asing yang akhirnya mengetahui tempat ini dan kerap berkunjung ke Wae Rebo.
Selain ingin mengetahui tentang Mbaru Niang, suasana Wae Rebo yang terisolir dari hiruk pikuk kota juga menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. Kearifan lokal masyarakat pedalaman yang masih bergantung dari alam ini juga merupakan suguhan tersendiri ketika berkunjung ke kampung di atas awan ini. Salah satu kearifan lokal yang masih mereka pegang adalah menjaga kelestarian Mbaru Niang. Di Wae Rebo sendiri hanya boleh ada tujuh buah Mbaru Niang tidak kurang dan tidak lebih. Satu rumah Mbaru Niang bisa ditempati enam sampai delapan keluarga. Sisa masyarakat yang tidak tertampung di Wae Rebo harus pindah ke kampung Kombo, sebuah kampung yang terletak kira-kira lima kilometer dari Wae Rebo yang kemudian mendapat julukan kampung kembaran Wae Rebo karena sebagian besar penduduk kampung Kombo berasal dari Wae Rebo.
Penduduk Wae Rebo sendiri bukannya tanpa usaha selain mendapat tambahan dari wisatawan yang berkunjung. Kopi dan kain cura adalah salah satu usaha yang menjadi penghasilan utama dari penduduk kampung Wae Rebo. Kopi yang dijadikan komoditi adalah jenis arabika. Sedangkan kain cura menjadi kerajinan kain tenun yang dilakukan oleh ibu-ibu di Wae Rebo. Kain cura ini memiliki motif khas berwarna cerah. Untuk pejalan yang memang tertarik untuk mengoleksi kain tenun dari beberapa daerah di Indonesia, kain cura ini bisa menjadi pilihan tersendiri.
Satu hal yang disayangkan dari kampung Wae Rebo sendiri adalah dari sektor pendidikan. Tidak ada sekolah di kampung ini. Oleh karena itu anak-anak harus menuntut ilmu di kampung Kombo, yang artinya mereka sudah harus merantau sejak umur tujuh tahun, kelas 1 SD.
Menurut cerita dari mulut ke mulut yang belum bisa dipastikan kebenarannya, diketahui bahwa sekitar seribu tahun yang lalu, orang Minangkabau datang ke Wae Rebo dan menetap disini. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang Wae Rebo.
Meniti Bumi Menuju Kampung Awan
Wae Rebo terletak di Barat Daya kota Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Namun mengingat akses transportasi udara, akan lebih mudah jika perjalanan dimulai dari Labuan Bajo. Dari beberapa sumber, kebanyakan pengunjung mengambil rute memutar dari Ruteng sebelum menuju desa Denge yang merupakan desa terakhir sebelum menuju kampung Wae Rebo. Selama perjalanan panjang menuju desa Denge kita akan disuguhkan pemandangan yang luar biasa, hamparan sawah dari tanah Flores yang subur, jalanan bukit yang menanjak dan pemandangan pesisir pantai yang menggoda.
Denge merupakan desa pesisir yang berada di tepi pantai. Dari Denge kita bisa melihat pulau Mules dengan sebuah puncak yang terletak di tengah pulau tersebut. Denge berperan sebagai desa transit bagi para wisatawan sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo. Disini sudah ada beberapa homestay yang dikelola oleh warga Denge maupun Wae Rebo yang ‘turun gunung’. Biasanya sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo, para wisatawan akan beristirahat di Denge setelah perjalanan panjang dari Labuan Bajo atau Ruteng. Desa Denge adalah desa terakhir yang dilalui oleh kendaraan bermotor, baik itu motor maupun mobil. Untuk mencapai Wae Rebo, wisatawan harus berjalan kaki. Untuk memudahkan para pengunjung, banyak pemuda desa Denge maupun Wae Rebo yang bersedia menjadi tenaga porter, membantu pengunjung membawa perlengkapan mereka pada saat trekking menuju Wae Rebo.
Perjalanan akan dimulai dari Denge denga jarak tempuh ± 9 km yang bisa ditempuh dalam waktu 2 – 4 jam, sangat tergantung kondisi fisik masing-masing pengunjung. Karena letak desa Denge persis di tepi pantai, bisa dikatakan perjalanan ke Wae Rebo dimulai dari titik 0 m dpl dan mendaki pengunungan hingga ketinggian 1.200 m dpl. Rute awal merupakan jalanan tanah lebar yang sekiranya akan dibuat jalan aspal.
Perjalanan akan melintasi kawasan hutan yang rimbun. Pada saat memasuki hutan, pengunjung akan disambut oleh riuhnya suara kicauan burung. Hutan di wilayah ini merupakan area umum, yaitu sebuah lokasi yang menjadi tempat pertemuan setiap warga masyarakat. Tidak heran jika selama perjalanan melintasi hutan, kita akan sering bertemu dengan warga masyarakat yang sedang mengambil hasil hutan, mengantarkan pesan kepada keluarga di Kombo atau Denge, atau hanya sekedar berkunjung ke sanak keluarga, dan lain sebagainya.
Rute berikutnya adalah jalur memutar melewati perbukitan yang rawan longsor dan jalanan semakin menyempit. Jalur dengan variasi tingkat kesulitan ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pengunjung. Jalur terberat adalah jalur antara Denge hingga Wae Lumba. Jalur ini berkarakter bebatuan yang besar, kerap menanjak dan terkadang licin. Selain itu kita akan melewati sebuah sungai kecil sebelum tiba di Wae Lumba. Jalur Wae Lumba ke Poco Roko juga menegangkan, terutama untuk orang yang takut ketinggian. Pengunjung akan menyusuri jalur yang berada di bibir jurang. Poco Roko merupakan titik tertinggi dan lokasi dimana masyarakat bersentuhan dengan modernisasi, disini biasanya warga mencari sinyal telepon. Dengan adanya sinyal telepon berarti komunikasi dengan dunia luar bisa terjadi. Salah seorang pengunjung mengaku pernah melakukan update status di salah satu jejaring sosial pada saat berada di Poco Roko. Beberapa menit setelah melalui Poco Roko, kita akan sampai di Ponto Nao. Disini terdapat sebuah pos pemantau dengan atap yang terbuat dari ijuk, sama seperti bahan yang digunakan untuk membuat atap Mbaru Niang. Dari Ponto Nao ini kita bisa melihat di kejauhan sebuah dusun dengan bangunan-bangunan berbentuk kerucut yang mengepulkan asap. Itulah kampung diatas awan, Wae Rebo. Jalur perjalanan akan menurun dengan hamparan tanaman kopi di sepanjang jalan hingga tiba di gerbang kampung Wae Rebo.
Merangkul Kearifan Lokal
Wae Rebo adalah kampung adat Manggarai Tua yang berusaha untuk melestarikan kearifan lokal sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia. Salah satu yang dilakukan adalah ritual Pa’u Wae Lu’u. Ritual ini dipimpin oleh salah satu tetua adat Wae Rebo yang bertujuan meminta ijin dan perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung dan tinggal di Wae Rebo hingga tamu tersebut meninggalkan kampung ini. Tidak hanya itu, ritual ini juga ditujukan kepada pengunjung ketika sudah sampai di tempat asal mereka. Bagi masyarakat Wae Rebo, wisatawan yang datang dianggap sebagai saudara yang sedang pulang kampung. Sebelum selesai ritual ini, para tamu tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan apapun termasuk mengambil foto.
Tetua adat Wae Rebo kemudian akan melakukan briefing kecil tentang beberapa hal yang tabu dilakukan selama para tamu berada di Wae Rebo. Beberapa hal tersebut antara lain adalah memakai pakaian sopan, artinya untuk para wanita tidak diperkenankan memakai tank top atau hot pants, selain karena udara dingin, hal ini akan membuat warga masyarakat menjadi risih. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tidak menunjukkan kemesraan, baik itu dengan lawan jenis maupun sejenis, seperti berpegangan tangan, berpelukan atau berciuman, bahkan untuk yang sudah berstatus suami istri. Hal lain yang perlu dihindari adalah mengumpat atau memaki selama berada di kampung ini. Pengunjung juga diharuskan melepaskan alas kaki ketika masuk ke dalam rumah.
Kearifan lokal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tentang penggunaan uang administrasi bagi wisatawan yang masuk ke kampung Wae Rebo. Memang ada kesan bahwa biaya administrasi selalu dikaitkan dengan komersialisasi budaya, uangnya dikemanakan, dan pertanyaan lainnya yang selalu dikaitkan dengan korupsi. Namun uang administrasi di Wae Rebo ini sudah diatur menurut kearifan lokal setempat. Pengelolaan uang ini dipercayakan kepada Lembaga Pariwisata Wae Rebo. Uang administrasi yang didapat dari wisatawan digunakan untuk keperluan biaya bahan makanan dan memasak makanan yang dibuat oleh para ibu, pemeliharaan infrastruktur kampung, bahan bakar generator set dan sumber air.
Sehari-hari warga Wae Rebo merupakan petani kopi dan pengrajin kain tenun cura. Saat ini warga Wae Rebo sedang mengembangkan berkebun sayur mayur. Untuk wisatawan yang datang, bisa mengikuti kegiatan ini, seperti ikut menumbuk kopi dengan ibu-ibu, memetik kopi dari kebun kopi dengan para lelaki bahkan bisa melihat ibu-ibu menenun kerajinan kain cura yang biasanya dilakukan di depan rumah. Para wisatawan dapat terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Wae Rebo. Saat malam tiba pengunjung akan menginap di Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo yang namanya sudah mendunia. Dengan beralaskan tikar yang dianyam dari daun pandan, kita akan bercengkerama dan saling berbagi cerita tentang pengalaman hidup keluarga besar di Wae Rebo.
Mbaru Niang
Nah, salah satu daya tarik kampung ini yang sudah mendunia adalah rumah adat yang dilestarikan di kampung ini, Mbaru Niang. Dalam bahasa Manggarai, Mbaru Niang berarti ‘rumah drum’. Bangunan berbentuk kerucut ini dibangun secara tradisional. Atap besar terbuat dari ijuk yang hampir menyentuh tanah, mirip dengan honai di Papua, didukung dengan sebuah tiang kayu pusat. Didalamnya terdapat perapian yang terletak di tengah rumah. Disebut rumah drum karena salah satu rumah digunakan untuk menyimpan drum pusaka suci dan gong yang merupakan media sakral klan untuk berkomunikasi dengan nenek moyang.
Bentuk bangunan Mbaru Niang yang berbentuk kerucut, melingkar dan berpusat di tengah diyakini melambangkan persaudaraan yang tidak pernah putus di Wae Rebo dengan leluhur mereka sebagai titik pusatnya. Pada kenyataannya memang warga Wae Rebo tidak melupakan leluhurnya seperti yang tertuang dalam ungkapan “neka hemong kuni agu kalo” yang bermakna “jangan lupakan tanah kelahiran”.
Struktur Mbaru Niang cukup tinggi, sekitar 15 meter, yang keseluruhannya ditutup dengan ijuk. Didalamnya memiliki lima tingkat yang terbuat dari kayu worok dan bambu yang menggunakan rotan untuk mengikat konstruksi sebagai ganti paku. Mbaru Niang merupakan bangunan komunal, yang artinya satu rumah bisa ditempati enam sampai delapan keluarga dalam satu atap besar. Konsep arsitektur inilah yang membuat Yori Antar dan kawan-kawan penasaran dan mencari tempat ini pada tahun 2008. Mbaru Niang sendiri dibuat dengan struktur lima tingkat. Masing-masing tingkat memiliki nama dan fungsinya masing-masing. Tingkat pertama disebut lutur yang berarti tenda, lutur berfungsi sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat kedua disebut lobo, sebuah loteng yang berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang-barang keperluan sehari-hari. Tingkat ketiga disebut lentar, yang berfungsi untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti jagung, padi dan kacang-kacangan. Tingkat keempat dinamakan lempa rae yang merupakan tempat yang disediakan untuk menyimpan stok pangan jika terjadi kekeringan. Tingkat terakhir dinamakan hekang kode yang berfungsi untuk menyimpan langkar, sebuah anyaman bambu berberntuk persegi untuk menyimpan sesajian yang akan digunakan untuk persembahan kepada leluhur. Semua tingkat dan fungsinya masih ada dalam setiap Mbaru Niang dan terus dipertahankan hingga saat ini. Jika ada Mbaru Niang yang rusak dan butuh perbaikan, renovasi tradisional juga masih dikerjakan oleh masyarakat Wae Rebo dalam semangat gotong royong.
Sama seperti daerah di Indonesia bagian Timur yang masih kaya dengan potensi budaya, kita masih bisa melakukan banyak eksplorasi budaya dan wisata disini. Bukan untuk melakukan eksploitasi budaya Indonesia, namun semata karena dengan adanya dukungan pariwisata, kesejahteraan masyarakat di lokasi wisata akan semakin baik, akses jalan salah satunya, faktor transportasi juga perlu mendapat perhatian dari semua pihak terutama untuk infrastrukturnya. Tidak heran kini Wae Rebo mendapat dukungan untuk menjadi Atraksi Wisata Budaya Utama di Flores Barat.

Pantai Merah Muda (Pink Beach) di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT)


Pantai ini sesuai dengan namanya “Pink Beach” yaitu pantai yang berwarna merah muda. Pantai Pink Beach merupakan pantai yang unik yang memiliki pasir yang berwarna merah muda nan indah.  Pantai “Pink Beach” atau pantai merah muda terletak dalam Kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Pink Beach atau Pantai Merah adalah satu dari 7 saja pantai berpasir merah muda yang ada di dunia. Adapun pantai merah muda hanya terdapat di adalah Pink Beach di Harbor Island, Bahamas; Bermuda; Santa Cruz Island, Filipina;  Sardinia, Itali; Bonaire, Dutch Caribbean Island; dan di Balos Lagoon, Crete, Yunani. Betapa kaya dan cantik alam Indonesia; satu di antara tujuh pantai berpasir merah muda dapat ditemukan di negeri ini.
Kawasan Taman Nasional Komodo selain merupakan lokasi pantai Merah Muda (pink beach), juga tempat perlindungan makhluk raksasa dan  purba yang hanya terdapat di Indonesia yaitu Komodo. Taman Nasional Komodo sudah dinobatkan menjadi salah satu keajaiban dunia.
Selain kondisi pantainya yang unik dan indah, kehidupan bawah laut di Pink Beach juga menyimpan keindahan dan kekayaan yang menarik untuk diselami. Taman bawah laut Pink Beach adalah istana bagi beragam jenis ikan, ratusan jenis batu karang, dan berbagai jenis biota laut lainnya. Oleh karenanya, snorkeling atau diving adalah aktivitas yang tidak boleh dilewatkan
Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti dari mana asal muasal warna pasir merah muda yang cantik ini. Beberapa berpendapat bahwa warna pink berasal dari pecahan karang berwarna merah yang sudah mati dan memang banyak ditemukan di pantai ini. Pendapat lain menyebutkan warna pink pada pasir Pink Beach adalah karena adanya hewan mikroskopik bernama foraminifera yang memproduksi warna merah atau pink terang pada terumbu karang.

Transportasi

Pantai yang tak berpenghuni dan sepi ini dapat ditempuh dengan menyewa kapal atau speed boat dari Labuhan Bajo. Paket tur perjalanan biasanya akan membawa Anda ke Pulau Rinca lalu kemudian ke Pulau Komodo terlebih dahulu. Dari Labuan Bajo menuju Dermaga Loh Buaya di Pulau Rinca memakan waktu sekira 45 menit. Di pulau-pulau tersebut Anda dapat melihat langsung komodo yang mendunia itu di habitat asli mereka dengan memilih jalur trekking tertentu.
  
Dari Dermaga Loh Liang, sebuah dermaga di Pulau Komodo, diperlukan waktu sekira 30 menit perjalanan dengan kapal untuk menginjakkan kaki di pink Beach, pantai yang warna pasirnya tidak biasa ini. Apabila Anda berminat trekking melalui tebing-tebing karang dan hutan bakau, dibutuhkan waktu sekira 4 jam berjalan kaki sebelum akhirnya tiba di Pink Beach.

Di Labuan Bajo juga terdapat kapal-kapal LOB (Live Aboard) yang biasanya disewa oleh penyelam yang dapat sekaligus berfungsi sebagai tempat menginap selama menelusuri pesona Flores. Kapal ini juga dapat menjadi pilihan transportasi Anda.

Untuk mencapai Labuan Bajo, terdapat penerbangan dari Denpasar dengan pesawat kecil sejenis Fokker menuju Bandara Komodo selama kurang lebih 1 jam. Dari bandara menuju pelabuhan Labuan Bajo dibutuhkan waktu sekira 10-15 menit berkendara. Anda dapat menyewa mobil untuk menuju pelabuhan.

Tips

Di sekitar Pantai Merah Muda (Pink Beach) tidak terdapat took atau warung, oleh karena itu bagi Anda yang akan berkunjung agar segera membawa perbekalan-perbekalan yang dibutuhkan seperti makanan dan minuman secukupnya, pakaian ganti, obat-obatan, topi, kacamata hitam, dll. Sementara kebutuhan perlengkapan diving atau snorkeling dapat diperoleh di Labuan Bajo. Sebaiknya Anda tanyakan pada guide atau agen perjalanan Anda mengenai hal ini.

Karena lokasi pantai yang berada dalam Kawasan Taman Nasional Komodo diharapkan agar berhati-hati saat berenang, berjemur, atau snorkeling karena kemungkinan Komodo berkeliaran di sekitar pantai. Jika anda melihat Komodo sebaiknya anda menjauh darinya karena Komodo merupakan salah satu binatang yang berbahaya. Untuk itulah, mengunjungi pulau-pulau di sekitar kawasan Pulau Komodo dan kawasan pantainya—termasuk Pink Beach—hendaknya dikawal dengan jagawana (polisi hutan) dan atau guide berpengalaman.

Kegiatan

Pantai Merah Muda (pink beach) yang tidak berpenghuni dan sepi membuat kelesatarian alam dari pantai ini tetap terjaga. Di pantai ini terdapat bukit memanjang dari ujung pantai ke ujung lainnya sehingga menambah keindahan dari pantai ini. Berada di pantai yang indah, tenang  dan menakjubkan merupakan tempat yang ideal untuk relaksasi.
Warna air laut yang hijau toska dan sangat jernih  tidak boleh dilewatkan. Selain itu, karang-karang yang ada di laut dapat dilihat dengan mata langsung. Snorkeling dan diving merupakan kegiatan yang wajib dilakukan di sini mengingat kondisi taman bawah lautnya yangh masih terjaga dan banyaknya  keanekaragaman hayati  yang penuh warna: ribuan jenis ikan, ratusan terumbu karang dan lain-lain.
Selain snorkeling dan diving, di pantai ini juga merupakan tempat yang bagus untuk berjemur di pasir yang lembut dan pantai yang cantik. Dalam menyaksikan keindahan pantai yang diberikan jangan lupa untuk mengabadikannya. Pemandangan Matahari tenggelam di pantai ini juga terkenal menakjubkan.

Menjelajahi Surga Tersembunyi di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo Flores NTT


Pulau Padar adalah pulau ketiga terbesar di kawasan Taman Nasional Komodo, setelah Pulau Komodo dan Pulau Rinca.

Mungkin keberadaan Pulau Padar tidak se-terkenal Pulau Komodo ataupun Pulau Rinca, namun keindahan Pulau Padar tidak kalah cantiknya dengan kedua pulau tersebut.

Letak Pulau Padar cenderung lebih dekat dengan Pulau Rinca dibandingkan dengan jarak ke Pulau Komodo dan dipisahkan oleh Selat Lintah.

Pulau Padar juga diterima sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, karena berada dalam wilayah Taman Nasional Komodo, bersama dengan Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Gili Motang. Meskipun berada di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, namun Pulau Padar tidak dihuni oleh komodo dikarenakan rantai makanan yang terputus.

Di sekitar pulau ini terdapat pula tiga atau empat pulau kecil yang memiliki keunikan panorama masing-masing. Dan di Pulau Padar juga terdapat hamparan pink beach yang sangat cocok digunakan untuk sekedar berenang, bermain air ataupun ber-snorkeling ria.

Pengunjung juga dapat menaiki bukit yang berada di Pulau Padar untuk menikmati keindahan panorama dari atas. Biru laut dan jajaran pulau di sekitarnya akan menghipnotis pengunjung. Meskipun trekking menuju bukit tertinggi akan terasa sangat melelahkan, namun pengunjung akan disuguhkan panorama perbukitan dan pemandangan yang sangat cantik dan mengabadikan momen akan menjadi kegiatan yang tak ada bosannya selama perjalanan trekking.

Jika Anda berencana untuk mengunjungi Taman Nasional Komodo, cobalah singgah sejenak di pulau ini, ketenangan dan keelokannya akan membuat Anda betah berlama-lama di pulau ini.

Pesona Bukittinggi Sumatra Barat


Salah satu kota yang tak bisa dilewatkan saat ke Sumatera Barat adalah Bukittinggi. Begitu banyak objek wisatanya, dan semuanya indah!

Di kota ini hampir semua obyek wisata ada. Mulai dari wisata kuliner, wisata sejarah, wisata belanja hingga wisata panorama alam juga ada. Untuk jenis obyek wisata yang terakhir, Kota Bukit Tinggi memiliki wisata andalan yaitu Taman Panorama Bukit Tinggi.

Taman Panorama Bukit Tinggi terletak di Jalan Panorama Bukittinggi. Lokasinya sangat mudah untuk diakses selain itu ia juga dekat dengan objek-objek wisata lainnya.

Setelah puas sarapan dengan Nasi Kapau di Pasar Lereng, kami melanjutkan perjalanan menuju Taman Panorama. Berbekal informasi penunjuk arah dari warga sekitar yang kami temui akhirnya sampai jugalah kami di depan pintu masuk Taman Panorama Bukittinggi.

Setelah membayar tiket masuk kami langkahkan kaki menuju ke dalam taman yang juga di dalamnya terdapat wisata sejarah yaitu Lobang Jepang. Jadi selain menikmati panorama yang indah di sini kita juga bisa menyusuri Lobang Jepang dengan meniti anak tangganya yang berjumlah 132 itu.

Kami cukup beruntung kala itu karena masih pagi belum banyak orang di sini. Sehingga kami begitu menikmati suasana di sini dengan pemandangan Ngarai Sianok dan gagahnya Gunung Merapi.

Cuaca saat itu juga sedang cerah sehingga sejauh mata memandang begitu jelas. Nampak juga dari seberang sana yaitu The Great Walls of Koto Gadang, bangunan miniatur tembok China yang ada di Koto Gadang.

Perlahan mulai ramai pengunjung yang ke sini mulai dari anak-anak hingga orang dewasa bahkan ada juga wisatawan mancanegara yang tertarik mengunjungi obyek wisata ini. Ada satu hal yang kami lewati yaitu menyusuri Lobang Jepang. Karena keterbatasan waktu sebab saat itu kami harus kembali ke Kota Padang mungkin suatu saat ketika kami ke Bukittinggi. Kami tidak akan melewatinya begitu saja karena banyak sekali pengetahuan sejarah yang bisa kita dapat dengan mengunjunginya.