Negeri di Atas Awan Ada di Flores, NTT
Wae Rebo memang indah dan menakjubkan,
diselimuti oleh kabut tipis di seluruh perkampungan membuat Wae Rebo
pantas mendapatkan julukan ‘kampung diatas awan’. Secara
geografis kampung ini terletak diatas ketinggian 1.200 meter di atas
permukaan laut (m dpl). Wae Rebo merupakan bagian dari Desa Satar Lenda,
Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai Barat, Flores.
Disini wisatawan mendapat kesempatan
untuk melihat dan tinggal di Mbaru Niang, sebuah rumah tradisional
Flores yang masih tersisa dan hanya ada di kampung Wae Rebo. Pada tahun
2012 silam, Mbaru Niang mendapatkan penghargaan dari UNESCO. Pemandangan
alam perbukitan dan hutan hijau yang masih asri, dengan diselimuti
kabut yang kadang tersibak oleh hembusan angin sehingga memperlihatkan
tujuh buah Mbaru Niang yang berdiri dengan anggunnya, merupakan sebuah
pemandangan bak di negeri khayalan.
Menginjak Kampung di Atas Awan
Wae Rebo yang berpenghuni 112 Kepala
Keluarga atau sekitar 625 jiwa penduduk (data 2012) ini semakin mencuri
perhatian wisatawan, terutama wisatawan dari mancanegara. Tidak bisa
dipungkiri bahwa selain faktor biaya yang relatif mahal untuk sampai ke
tempat ini, perjalanannya sendiri pun memberikan pengalaman berpetualang
dan tantangan tersendiri. Dari data yang diperoleh pada tahun 2011,
total ada 313 turis dari 19 negara yang datang berkunjung ke kampung
ini.
Awalnya adalah Yori Antar, seorang
arsitek asal Jakarta yang penasaran dengan Mbaru Niang dari sebuah kartu
pos. Hingga pada 2008, Yori Antar berhasil ‘menemukan’ kampung Wae Rebo
hanya berbekal kartu pos bergambar Mbaru Niang. Melalui laporannya,
banyak wisatawan asing yang akhirnya mengetahui tempat ini dan kerap
berkunjung ke Wae Rebo.
Selain ingin mengetahui tentang Mbaru
Niang, suasana Wae Rebo yang terisolir dari hiruk pikuk kota juga
menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. Kearifan lokal masyarakat
pedalaman yang masih bergantung dari alam ini juga merupakan suguhan
tersendiri ketika berkunjung ke kampung di atas awan ini. Salah satu
kearifan lokal yang masih mereka pegang adalah menjaga kelestarian Mbaru
Niang. Di Wae Rebo sendiri hanya boleh ada tujuh buah Mbaru Niang tidak
kurang dan tidak lebih. Satu rumah Mbaru Niang bisa ditempati enam
sampai delapan keluarga. Sisa masyarakat yang tidak tertampung di Wae
Rebo harus pindah ke kampung Kombo, sebuah kampung yang terletak
kira-kira lima kilometer dari Wae Rebo yang kemudian mendapat julukan
kampung kembaran Wae Rebo karena sebagian besar penduduk kampung Kombo
berasal dari Wae Rebo.
Penduduk Wae Rebo sendiri bukannya tanpa usaha selain mendapat tambahan dari wisatawan yang berkunjung. Kopi dan kain cura adalah
salah satu usaha yang menjadi penghasilan utama dari penduduk kampung
Wae Rebo. Kopi yang dijadikan komoditi adalah jenis arabika. Sedangkan
kain cura menjadi kerajinan kain tenun yang dilakukan oleh ibu-ibu di Wae Rebo. Kain cura ini
memiliki motif khas berwarna cerah. Untuk pejalan yang memang tertarik
untuk mengoleksi kain tenun dari beberapa daerah di Indonesia, kain cura ini bisa menjadi pilihan tersendiri.
Satu hal yang disayangkan dari kampung
Wae Rebo sendiri adalah dari sektor pendidikan. Tidak ada sekolah di
kampung ini. Oleh karena itu anak-anak harus menuntut ilmu di kampung
Kombo, yang artinya mereka sudah harus merantau sejak umur tujuh tahun,
kelas 1 SD.
Menurut cerita dari mulut ke mulut yang
belum bisa dipastikan kebenarannya, diketahui bahwa sekitar seribu tahun
yang lalu, orang Minangkabau datang ke Wae Rebo dan menetap disini.
Mereka inilah yang menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang Wae Rebo.
Meniti Bumi Menuju Kampung Awan
Wae Rebo terletak di Barat Daya kota
Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Namun
mengingat akses transportasi udara, akan lebih mudah jika perjalanan
dimulai dari Labuan Bajo. Dari beberapa sumber, kebanyakan pengunjung
mengambil rute memutar dari Ruteng sebelum menuju desa Denge yang
merupakan desa terakhir sebelum menuju kampung Wae Rebo. Selama
perjalanan panjang menuju desa Denge kita akan disuguhkan pemandangan
yang luar biasa, hamparan sawah dari tanah Flores yang subur, jalanan
bukit yang menanjak dan pemandangan pesisir pantai yang menggoda.
Denge merupakan desa pesisir yang berada
di tepi pantai. Dari Denge kita bisa melihat pulau Mules dengan sebuah
puncak yang terletak di tengah pulau tersebut. Denge berperan sebagai
desa transit bagi para wisatawan sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae
Rebo. Disini sudah ada beberapa homestay yang dikelola oleh warga Denge
maupun Wae Rebo yang ‘turun gunung’. Biasanya sebelum melanjutkan
perjalanan ke Wae Rebo, para wisatawan akan beristirahat di Denge
setelah perjalanan panjang dari Labuan Bajo atau Ruteng. Desa Denge
adalah desa terakhir yang dilalui oleh kendaraan bermotor, baik itu
motor maupun mobil. Untuk mencapai Wae Rebo, wisatawan harus berjalan
kaki. Untuk memudahkan para pengunjung, banyak pemuda desa Denge maupun
Wae Rebo yang bersedia menjadi tenaga porter, membantu pengunjung
membawa perlengkapan mereka pada saat trekking menuju Wae Rebo.
Perjalanan akan dimulai dari Denge denga
jarak tempuh ± 9 km yang bisa ditempuh dalam waktu 2 – 4 jam, sangat
tergantung kondisi fisik masing-masing pengunjung. Karena letak desa
Denge persis di tepi pantai, bisa dikatakan perjalanan ke Wae Rebo
dimulai dari titik 0 m dpl dan mendaki pengunungan hingga ketinggian
1.200 m dpl. Rute awal merupakan jalanan tanah lebar yang sekiranya akan
dibuat jalan aspal.
Perjalanan akan melintasi kawasan hutan
yang rimbun. Pada saat memasuki hutan, pengunjung akan disambut oleh
riuhnya suara kicauan burung. Hutan di wilayah ini merupakan area umum, yaitu
sebuah lokasi yang menjadi tempat pertemuan setiap warga masyarakat.
Tidak heran jika selama perjalanan melintasi hutan, kita akan sering
bertemu dengan warga masyarakat yang sedang mengambil hasil hutan,
mengantarkan pesan kepada keluarga di Kombo atau Denge, atau hanya
sekedar berkunjung ke sanak keluarga, dan lain sebagainya.
Rute berikutnya adalah jalur memutar
melewati perbukitan yang rawan longsor dan jalanan semakin menyempit.
Jalur dengan variasi tingkat kesulitan ini menjadi tantangan tersendiri
bagi para pengunjung. Jalur terberat adalah jalur antara Denge hingga
Wae Lumba. Jalur ini berkarakter bebatuan yang besar, kerap menanjak dan
terkadang licin. Selain itu kita akan melewati sebuah sungai kecil
sebelum tiba di Wae Lumba. Jalur Wae Lumba ke Poco Roko juga
menegangkan, terutama untuk orang yang takut ketinggian. Pengunjung akan
menyusuri jalur yang berada di bibir jurang. Poco Roko merupakan titik
tertinggi dan lokasi dimana masyarakat bersentuhan dengan modernisasi,
disini biasanya warga mencari sinyal telepon. Dengan adanya sinyal
telepon berarti komunikasi dengan dunia luar bisa terjadi. Salah seorang
pengunjung mengaku pernah melakukan update status di salah satu
jejaring sosial pada saat berada di Poco Roko. Beberapa menit setelah
melalui Poco Roko, kita akan sampai di Ponto Nao. Disini terdapat sebuah
pos pemantau dengan atap yang terbuat dari ijuk, sama seperti bahan
yang digunakan untuk membuat atap Mbaru Niang. Dari Ponto Nao ini kita
bisa melihat di kejauhan sebuah dusun dengan bangunan-bangunan berbentuk
kerucut yang mengepulkan asap. Itulah kampung diatas awan, Wae Rebo.
Jalur perjalanan akan menurun dengan hamparan tanaman kopi di sepanjang
jalan hingga tiba di gerbang kampung Wae Rebo.
Merangkul Kearifan Lokal
Wae Rebo adalah kampung adat Manggarai
Tua yang berusaha untuk melestarikan kearifan lokal sebagai salah satu
kekayaan budaya Indonesia. Salah satu yang dilakukan adalah ritual Pa’u Wae Lu’u. Ritual
ini dipimpin oleh salah satu tetua adat Wae Rebo yang bertujuan meminta
ijin dan perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung
dan tinggal di Wae Rebo hingga tamu tersebut meninggalkan kampung ini.
Tidak hanya itu, ritual ini juga ditujukan kepada pengunjung ketika
sudah sampai di tempat asal mereka. Bagi masyarakat Wae Rebo, wisatawan
yang datang dianggap sebagai saudara yang sedang pulang kampung. Sebelum
selesai ritual ini, para tamu tidak diperkenankan untuk melakukan
kegiatan apapun termasuk mengambil foto.
Tetua adat Wae Rebo kemudian akan melakukan briefing kecil
tentang beberapa hal yang tabu dilakukan selama para tamu berada di Wae
Rebo. Beberapa hal tersebut antara lain adalah memakai pakaian sopan,
artinya untuk para wanita tidak diperkenankan memakai tank top atau hot pants, selain
karena udara dingin, hal ini akan membuat warga masyarakat menjadi
risih. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tidak menunjukkan
kemesraan, baik itu dengan lawan jenis maupun sejenis, seperti
berpegangan tangan, berpelukan atau berciuman, bahkan untuk yang sudah
berstatus suami istri. Hal lain yang perlu dihindari adalah mengumpat
atau memaki selama berada di kampung ini. Pengunjung juga diharuskan
melepaskan alas kaki ketika masuk ke dalam rumah.
Kearifan lokal lain yang perlu mendapat
perhatian adalah tentang penggunaan uang administrasi bagi wisatawan
yang masuk ke kampung Wae Rebo. Memang ada kesan bahwa biaya
administrasi selalu dikaitkan dengan komersialisasi budaya, uangnya
dikemanakan, dan pertanyaan lainnya yang selalu dikaitkan dengan
korupsi. Namun uang administrasi di Wae Rebo ini sudah diatur menurut
kearifan lokal setempat. Pengelolaan uang ini dipercayakan kepada
Lembaga Pariwisata Wae Rebo. Uang administrasi yang didapat dari
wisatawan digunakan untuk keperluan biaya bahan makanan dan memasak
makanan yang dibuat oleh para ibu, pemeliharaan infrastruktur kampung,
bahan bakar generator set dan sumber air.
Sehari-hari warga Wae Rebo merupakan petani kopi dan pengrajin kain tenun cura.
Saat ini warga Wae Rebo sedang mengembangkan berkebun sayur mayur.
Untuk wisatawan yang datang, bisa mengikuti kegiatan ini, seperti ikut
menumbuk kopi dengan ibu-ibu, memetik kopi dari kebun kopi dengan para
lelaki bahkan bisa melihat ibu-ibu menenun kerajinan kain cura yang
biasanya dilakukan di depan rumah. Para wisatawan dapat terlibat
langsung dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Wae Rebo. Saat malam tiba
pengunjung akan menginap di Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo yang
namanya sudah mendunia. Dengan beralaskan tikar yang dianyam dari daun
pandan, kita akan bercengkerama dan saling berbagi cerita tentang
pengalaman hidup keluarga besar di Wae Rebo.
Mbaru Niang
Nah, salah satu daya tarik kampung ini
yang sudah mendunia adalah rumah adat yang dilestarikan di kampung ini,
Mbaru Niang. Dalam bahasa Manggarai, Mbaru Niang berarti ‘rumah drum’.
Bangunan berbentuk kerucut ini dibangun secara tradisional. Atap besar
terbuat dari ijuk yang hampir menyentuh tanah, mirip dengan honai di
Papua, didukung dengan sebuah tiang kayu pusat. Didalamnya terdapat
perapian yang terletak di tengah rumah. Disebut rumah drum karena salah
satu rumah digunakan untuk menyimpan drum pusaka suci dan gong yang
merupakan media sakral klan untuk berkomunikasi dengan nenek moyang.
Bentuk bangunan Mbaru Niang yang
berbentuk kerucut, melingkar dan berpusat di tengah diyakini
melambangkan persaudaraan yang tidak pernah putus di Wae Rebo dengan
leluhur mereka sebagai titik pusatnya. Pada kenyataannya memang warga
Wae Rebo tidak melupakan leluhurnya seperti yang tertuang dalam ungkapan
“neka hemong kuni agu kalo” yang bermakna “jangan lupakan tanah
kelahiran”.
Struktur Mbaru Niang cukup tinggi,
sekitar 15 meter, yang keseluruhannya ditutup dengan ijuk. Didalamnya
memiliki lima tingkat yang terbuat dari kayu worok dan bambu yang
menggunakan rotan untuk mengikat konstruksi sebagai ganti paku. Mbaru
Niang merupakan bangunan komunal, yang artinya satu rumah bisa ditempati
enam sampai delapan keluarga dalam satu atap besar. Konsep arsitektur
inilah yang membuat Yori Antar dan kawan-kawan penasaran dan mencari
tempat ini pada tahun 2008. Mbaru Niang sendiri dibuat dengan struktur
lima tingkat. Masing-masing tingkat memiliki nama dan fungsinya
masing-masing. Tingkat pertama disebut lutur yang berarti tenda, lutur berfungsi sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat kedua disebut lobo, sebuah loteng yang berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang-barang keperluan sehari-hari. Tingkat ketiga disebut lentar,
yang berfungsi untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti
jagung, padi dan kacang-kacangan. Tingkat keempat dinamakan lempa rae yang merupakan tempat yang disediakan untuk menyimpan stok pangan jika terjadi kekeringan. Tingkat terakhir dinamakan hekang kode yang berfungsi untuk menyimpan langkar, sebuah
anyaman bambu berberntuk persegi untuk menyimpan sesajian yang akan
digunakan untuk persembahan kepada leluhur. Semua tingkat dan fungsinya
masih ada dalam setiap Mbaru Niang dan terus dipertahankan hingga saat
ini. Jika ada Mbaru Niang yang rusak dan butuh perbaikan, renovasi
tradisional juga masih dikerjakan oleh masyarakat Wae Rebo dalam
semangat gotong royong.
Sama seperti daerah di Indonesia bagian
Timur yang masih kaya dengan potensi budaya, kita masih bisa melakukan
banyak eksplorasi budaya dan wisata disini. Bukan untuk melakukan
eksploitasi budaya Indonesia, namun semata karena dengan adanya dukungan
pariwisata, kesejahteraan masyarakat di lokasi wisata akan semakin
baik, akses jalan salah satunya, faktor transportasi juga perlu mendapat
perhatian dari semua pihak terutama untuk infrastrukturnya. Tidak heran
kini Wae Rebo mendapat dukungan untuk menjadi Atraksi Wisata Budaya
Utama di Flores Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar